Pemilu Umum serentak 2019 telah berada di proses terakhirnya. Pasca pengumunan hasil pemilihan umum oleh Komisi Pemilihan Umum KPU pada tanggal 21 Mei 2019. Pihak yang merasa dirugikan selama proses Pemilu dapat mengajukan Permohonan di Makahmah Konstitusi. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019, merupakan perselisihan antara peserta Pemilu dengan KPU mengenai Penetapan Perolehan Suara Hasil Pemilu. Salah satu Lembaga Negara yang berwewenang menyelesaikan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) adalah Mahkamah Konstitusi. Pihak-pihak yang berperkara dalam perkara PHPU yaitu Capres dan Wapres sebagai Pemohon, KPU sebagai Termohon, serta pasangan Capres dan Wapres yang berkepentingan terhadap Pemohon sebagai Pihak Terkait. Objek Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) berupa Keputusan KPU sebagai Termohon, tentang Hasil Penetapan Perolehan Suara Pemilu. Dalam Pengajuan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dimohonkan paling lama 3 hari setelah KPU Mengumumkan Hasil Resmi Pemilu serentak 2019.
Dalam proses perkara PHPU lebih menekankan mengenai Kesalahan Hasil Penghitungan Suara oleh KPU, sehingga Pemohon memaparkan temuan kekeliruan serta harus dilengkapi dengan alat bukti. Alat bukti sangat penting dalam dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dalam memberikan keyakinan bagi 9 hakim Mahkamah Konstitusi untuk menentukan putusannya. Alat bukti dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) dalam Pasal 10 Peraturan Mahkamah Konstitusi No 16 Tahun 2009 alat bukti yang di maksud berupa surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk dan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Untuk menentukan putusan hasil sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), terlebih dahulu melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi yang terlebih dahulu mendengarkan hasil rapat panel hakim. Putasan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) melalui Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dilakukan secara musyawarah mufakat dengan terlebih dahulu mendengarkan pendapat hukum para hakim konstitusi. Jika tidak memperoleh kesepakatan dari musyawarah mufakat, maka akan dilakukan melalui voting. Jika dalam voting tersebut belum mendapatkan suara terbanyak. Maka suara terakhir Ketua Rapat Pleno Hakim Konstitusi menentukan putusan yang dijatuhkan.
Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) berdasarkan ketentuan Pasal 13 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 juncto Pasal 15 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 juncto Pasal 15 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 yang berbunyi:
- Permohonan tidak dapat diterima (niet otvankelijk verklaard) apabila pemohon dan atau permohonan tidak memenuhi syarat;
- Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah membatalkan (void an initio) hasil penghitungan suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar;
- Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan
Mahkamah Konstitusi dalam perkara PHPU dapat memutuskan agar Termohon (KPU) untuk menyelenggarakan penghitungan suara ulang atau pemungutan suara (Pemilu). Juga putusan PHPU dapat menentukan hasil penghitungan suara menurut fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan. Sehingga ketika Mahkamah Konstitusi menentukan perubahan hasil penghitungan suara sesuai dengan penghitungan Mahkamah Konstitusi maka putusan tersebut telah membentuk keadaan hukum baru.
Opniel Harsana BP, SH., M.Hum., penulis adalah Pengacara atau Lawyer Kota Makassar.