Oleh ; Frans Kato
Frans Kato
Ende, MITRAMEDIASIBER.COM
Kegotong royongan , yang merupakan urat nadi Pancasila , sudah sulit kita rasakan dalam hiruk pikuknya penghidupan dan kehidupan yang materialistis. Meski pendiri Republik ini , Bung Karno dan bung Hatta sudah memberi warisan yang bernama Koperasi sebagai wadah ekonomi kerakyatan yang berdasarkan gotong royong , namun kita sebagai pewaris tak mampu menerjemahkan eksistensi koperasi dalam kancah perekonomian nasional.
Ketika pemerintahan Soeharto menggerakan koperasi sampai kedesa – desa dengan menggelar Koperasi Unit Desa ( KUD ) , kita tidak mampu meneruskan atau melanjutkan kegiatan koperasi di pedesaan . Ketika koperasi sulit tumbuh berkembang akibat “serangan kapitalisme dan liberalisme” , maka bangsa ini lebih cendrung mengakses kegiatan kapitalisme dan liberalisme.
Pemerintah sendiri lebih cendrung berkolaborasi dengan kapitalisme dan liberalisme hal ini terbukti ketika pemerintah memfasilitasi berdirinya mall – mall , pasar swalayan , super maket mini dan sebagainya yang mampu ” membunu ” kios – kios atau gardu milik warga dilorong – lorong atau disudut – sudut kota” . Sikap pemerintah yang berpihak pada kegiatan kapitalisme dan liberalisme , mengaburkan keberadaan ” ekonomi lemah” atau usaha kecil oleh warga dalam bentuk toko eceran ( klontong ) , gardu dan kios yang merupakan sektor formal yang memperkecil jumlah pengangguran .
Pada sisi lain , toko – toko grosir sebagai jaringan distribusi dagangan yang bernafaskan kapitalisme dan liberalisme difasilitasi oleh pemerintah , antara lain pembangunan ruko ( ruma yang berfungsi tokoh ) yang tidak mungkin dibeli kalangan pedagang kecil dan menengah . Hal ini menjadi gambaran , bagaimana perkembangan kapitalisme dan liberalisme yang merusak sendi – sendi kegotong royongan .
Pemerintah lebih condong ” bersahabat ” dengan pengusaha yang berkapital , seperti pembukaan perkebunan swasta yang besar , melibat perkebunan rakyat yang berskala kecil . Meski Hak Guna Usaha ( HGU ) dibatasi waktu pemanfaatnnya , namun petani kecil yang tidak memiliki lahan” hanya melongo melihat kekuatan kapital menguasai tanah Indonesia “(fk)