Obsesi Kekuasaan

Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu (QS. Ali ‘Imran: 26).

Organisasi kekuasaan dalam etape sejarah modern, keberadaannya seperti sebuah lukisan atas obsesi atau cita-cita besar. Beberapa terminologi sering mengisi diskurus publik, berkait hal tersebut, seperti negara super power, negara grand power, negara maju, atau negara terdepan.

Pasca abad 17, setelah untuk pertamakalinya, negara modern terbentuk di benua Amerika, melalui sebuah kontrak sosial. Setelahnya, organsisasi kekuasaan modern, mewarnai dunia secara perlahan dan pasti hingga abad tengah 21 (kini), dalam wajah yang diberi label, republik.

Pada etape sejarah sebelumnya, wajah itu beri nama monarki. Dalam sejarah Islam dinamakan, kekhalifahan dan kerajaan setelah era ‘kekuasaan’ kenabian dan kerasulan Muhammad SAW. Jika menilik catatan sejarah, sebagain besar warnannya adalah kisah-kisah kekuasaan. Paparannya tentang kelahiran kekuasaaan, kebesaran dan juga mengenai kehancuran atau kepunahannya.
Imperium Yunani kuno, sebagai mozaik peradaban yang tinggi dan makmur karena ilmu pengetahuan dan budayanya. Akhirnya harus menemui kehancuran karena sifat ‘angkuh’ antar polis, yang kemudian menimbulkan peperangan besar antar dua simbol kekuasaan Yunani kuno, Sparta dan Athena.

Bahkan Tuhan YME pun, berkisah kepada manusia tentang kehebatan dan kehancuran kerajaan manusia di masa kuno, untuk pemperingatkan manusia dan hakikat masa depannya.

Melalui firmanNya Tuhan bertutur dalam al-quran: kisah kerajaan Sabah yang makmur dan bahagia. Dengan berkah sumber daya alam yang melimpah dan dengan pengetahuan tinggi dalam pengelolaannya, membuat kehidupan kerajaan dan masyarakat, makmur dan sentosa, kemudian luluh lantak, lalu lenyap dalam zaman.

Kerajaan kuno Sabah, diabadikan dalam kitab Suci kaum muslimin, sebagai ‘kisah renungan mendalam’, tentang kekuasaan yang digunakan dalam kepongahan.

Pada abad masehi, kekaisaran Romawi menjadi emperium terbesar dunai sekitar abad 11 Masehi. Sebuah kekaisaran yang merupakan kelanjutan dari kejatuhan model ‘negara ‘monarki dan republiknya sepanjang 10 abad dalam sejarah sebelum masehi, kini hanya menjadi kenangan dalam sejarah peradaban manusia. Sejarawan mencatat sebab keruntuhannya karena perpecahan internal dan korupsi dalam tubuh kekaisaran.

Republik konstitusional-federal Amerika Serikat (AS), menjadi negara pertama yang mengambil bentuk republik, pasca kehancuran kekuasaan monarki dan republik dimasa silam. ‘Berenikarnasi’ dalam model republik AS, dan menjadi pola baru bentuk negara dalam sejarah modern, hingga kini.

Republik modern adalah tesis baru tentang kekuasaaan manusia secara formal dalam organisasi kekuasaan, sebagai anti tesis atas kekuasaan monarki absolut di masa silam.

Begitulah ragam bentuk kekuaaan manusia yang silih berganti datang dan menghilang. Namun bahwa manusia hingga akhir sejarah tetaplah memerlukan ‘format kekuasaan’ sebagai bagian dari kehidupan alami.

Suatu yang khas dari negara modern adalah obsesinya menjadi negara digdaya, negara super power dengan ragam istilah yang menggambarkan akan hasrat kuasa untuk menjadi ‘satu satunya’ negara yang paling maju atau paling perkasa diantar negara-negara yang ada.

Melalui kekuatan ekonomi, politik, militer dan tehnologi, mimpi obesif dari kekuasan negara itu, diwujudkan.

Amerika, Rusia dan Tiongkok adalah negara-negara yang sering digolongkan sebagai negara dengan kekuatan yang ‘super’. Karena perentase besar keterlibatan mereka dalam perdagangan global, besarnya angkatan perang dan anggaran militer, juga kecanggihan invovasi dalam tehnologi.

Namun bencana kesehatan yang melanda kehidupan manusia secara global sepanjang dua tahun, sejak 2019 hingga 2021, berlanjut dengan ragam bencana alam yang melanda negara-negara dunia, serta perang berkepenjangan antara Rusia dan Ukraina, hingga kekejaman genosida Israel terhadap masyarakat Gaza dalam perang ‘tidak rasional’, dan berdampak menjadi perang ‘meluas’ di Timur Tengah, telah menampakkan wajah kekuasaan ‘super power’ tidak ‘super power’ sama sekali.

Bahkan bencana seperti pandemi Covid 19 telah melumpuhkan kekuatan fundamental ekonomi negara-negara dunia, administrasi pemerintahan hingga kekuatan manusia itu sendiri. Perang juga merupakan konsekwesnis buruk dari obsesi perlombaan kedigdayaan militer untuk menunjukkan kekuasaan negara atas negara lain.

Obsesi ekonomi sebagai negara ‘terkaya’ berkonsekwensi pada terbentuknya persekutuan-persekutuan ekonomi internasional, untuk suatu kompetisi ‘saling melumpuhkan’ antar negara-negara bersaing.

Lalu apa hakikat dari obesesi menjadi sebuah negara super power, grand power yang memiliki kekuatan ekonomi, militer, dan tehnologi paling disegani atau ditakuti, jika obsesi itu hanya menimbulkan chaos dalam peradaban manusia?

Jika penguasa negara-negara dunia, memahami hakikat kekuasaannya, merupakan sifat dari yang Maha Mutlak, maka seharusnya mereka menggunakan kekuasaan itu sesuai keinganan Pemiliknya. Mereka tidak boleh melampaui batasNya, ketika kekuasaan itu diserahkan ke tangan para penguasa dunia itu.

Keagungan sebuah negara, bukan kerena capaian obsesi para pemimpin negara dalam bidang-bidang strategis, namun artinya nyata dari keberadaan mereka sebagai pemimpin negara yang dapat memberi jalan bagi manusia untuk mengenal pemilik Kekuasaan itu, melaui rancangan konstitusi dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang menggambarkan keinginanNya yang mulia, agung dan suci.

Sebagian besar negara republik modern, telah mengabaikan pesan suciNya, dalam kitab-kitab suci yang ada dalam peradaban manusia. Kitab abadi itu diturunkan dariNya untuk memberikan panduan esensial bagi pelaksanaan kekuasaan manusia.

Namun sains dan tehnologi, telah menjadi moral dan etik dasar dalam pengelolaan kekuasaan negara republik modern, yang hasilnya dalam kenyataan, seperti yang terpampang di depan mata saat ini: mimpi kekuasaan negara yang tiada batas pada masalah-masalah partikularistik, bukan pada hal-hal esensial sebagaimana kehendak fitrah dari jiwa manusia.

# Syafruddin Muhtamar, Pengajar Ilmu Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.