Bayi Kembar Buaya

Bayi Kembar Buaya
Cerpen ; Muhammad Amir Jaya

Makassar, mitramediasiber.com

Perempuan bercahaya itu tidak pernah bermimpi akan melahirkan bayi kembar. Tetapi nyatanya, dari rahimnya itu, lahir dua anak yang berbeda. Satu bayi mungil berjenis kelamin perempuan. Dan satu lagi adalah sosok makhluk buaya berjenis kelamin jantan.
Sanro (Dukun beranak), Opu Lebang, sesungguhnya ingin merahasiakan kembaran bayi itu. Dengan alasan takut ibu anak itu mengalami syok dan trauma. Karena kelahiran dua anak bayi yang berbeda rupa itu, tidak lazim, dan baru pertamakali terjadi di kampung ini. Selama 35 tahun jadi sanro, ia tak sekalipun menemukan seorang ibu melahirkan anak kembar.
Keinginannya merahasiakan anak kembar buaya itu, karena tidak ada yang mengetahui. Termasuk ibunya sekalipun. Sebab beberapa detik ketika kedua bayinya itu lahir, ibunya tak sadarkan diri (pingsan). Nanti ibunya siuman dua puluh menit kemudian.
Yang menjadi beban pikiran bagi Opu Lebang adalah bagaimana menyembunyikan sosok bayi buaya itu. Karenanya, ia berusaha melawan keinginannya yang terus-terus merecoki kepalanya.
Di sisi yang lain, ia juga tak tega melihat sosok anak buaya itu jika harus dijauhkan atau disembunyikan dari ibu kandungnya. Apa pun alasannya, anak buaya itu juga adalah makhluk Tuhan, yang butuh hidup dan butuh kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Akhirnya, Opu Lebang, memilih menaruh kedua anak itu tidur berdampingan. Satu dililit dengan sarung, dan yang satu lagi dililit dengan kapas. Dua anak berbeda rupa itu tertidur lelap di atas pembaringannya. Kalau satu terbangun, maka yang lain juga terbangun.
Ketika ibunya bertanya tentang bayinya, Opu Lebang bergegas menimang bayi itu lalu membawanya ke hadapan ibunya. “Laki atau perempuan, Opu?”tanya perempuan bercahaya itu.
“Alhamdulillah, anakmu perempuan,”kata Opu Lebang.
“Alhamdulillah. Alhamdulillah. Terima kasih, Tuhan.”
Berulang kali perempuan bercahaya itu mengusap wajahnya seraya mengucapkan tanda syukur kepada Tuhan. Ia sangat gembira dan bahagia, karena ia baru mendapatkan momongan setelah tujuh tahun perkawinannya dengan lelaki pelaut yang bernama Dg Cora.
“Lin, sebenarnya anakmu kembar,”kata Opu Lebang.
Mendengar ucapan Opu Lebang, perempuan bercahaya yang bernama Linda itu kaget.
“Maksudnya, Opu?”
“Ya, anakmu kembar.”
“Kembar?”
“Iya, anakmu kembar.”
“Mana yang satu. Laki atau perempuan?”
Linda semakin penasaran ingin melihat kembaran anaknya. Walaupun tubuhnya masih sangat lelah dan tak bertenaga, ia berusaha mengangkat kepalanya untuk lebih cepat melihat bayinya yang lain. Tetapi Opu Lebang menyuruhnya untuk tidak banyak bergerak dulu.
“Jangan banyak bergerak dulu, ya. Nanti aku ambilkan bayinya.Tapi kamu jangan kaget, ya?”
“Makudnya, Opu?”
“Jangan kaget.”
“Apakah bayiku cacat, Opu?”
“Tidak.”
“Kenapa Opu bilang, jangan kaget.”
Perempuan bercahaya itu semakin penasaran. Ia sungguh-sungguh tak mengerti dengan ucapan dukun beranak yang telah menolongnya untuk melahirkan bayinya itu. Hatinya terus berkecamuk. Namun ia tak bisa bergerak leluasa. Tubuhnya masih sangat lemas tak berdaya.
Opu Lebang berjalan pelan, dan kembali menimang sosok bayi yang berwujud buaya itu. Ia membawanya kepada ibunya, yang masih tergolek lemas di atas kasur.
“Ini bayimu,”kata Opu Lebang.
Perempuan bercahaya itu seperti tersengat lebah. Ia kaget dengan sekaget-kagetnya. Wajahnya berubah drastis. Dari wajah yang semula riang, berubah pucat pasih.
“Astagfirullah. Astagfirullah.”
Beberapa detik kemudian perempuan bercahaya itu tak sadarkan diri. Ia pingsan seperti ketika bayinya lahir.
Opu Lebang memang sejak awal telah ragu, apakah Linda bisa menerima dengan ikhlas bayinya yang berwujud buaya. Karenanya, ia ingin merahasiakannya, tapi apa daya tangan tak sampai. Ia sudah terlanjur menyampaikan kepada Linda, perempuan yang menjadi ibu kandung dari anak kembar yang berbeda rupa itu.
***
Enam bulan telah berlalu. Dua anak kembar itu tumbuh dengan sempurna. Anak perempuan itu diberi nama Bau Intang, dengan harapan kelak ketika besar menjadi bintang di dalam keluarganya. Menjadi perempuan sukses, dan mampu memberi cahaya cinta kepada keluarga serta kepada seluruh umat manusia. Sementara anak yang berwujud buaya itu diberi nama Sulamak, dengan harapan kelak ia mampu menjadi pelindung atau penyelamat keluarga, dan kepada semua umat yang membutuhkan pertolongannya.
Persoalan mulai muncul, saat Dg Cora selalu bermimpi di dalam tidurnya. Kakeknya, Opu Tanri, yang sudah sekitar lima puluh tahun di alam kubur, datang di dalam mimpinya, dan menyampaikan bahwa anaknya, Sulamak, yang berwujud buaya itu segera di lepas ke sungai atau ke laut lepas. Sebab kehidupan buaya ada di air. Kalau tidak di lepas di alamnya itu, maka kau menyiksanya. Begitu pesan Kakeknya, yang hampir setiap malam hadir di dalam mimpinya.
Tetapi Linda tak ingin anaknya itu berpisah dengannya. Kedua anaknya itu walaupun berbeda wujud, tetap disayanginya karena kedua anaknya itu adalah amanah Tuhan. Ia ingin menebus kesalahan dan dosanya–di mana pada awal kelahirannya, anak yang berwujud buaya itu enggan diterimanya. Malah ada kegelian, jijik dan kebencian saat menatap anak yang berwujud buaya itu. Dan perasaan itu berhari-hari melingkupi jiwanya. Ia baru tersadar, ketika diperingati oleh suaminya bahwa anaknya itu adalah anugerah Tuhan yang harus diterima dengan ikhlas. “Anak kita bukan lahir dengan sendirinya, tapi mereka lahir karena Tuhan menghendakinya. Biarkan kita mengasuhnya dengan kasih sayang yang sama,”pesan suaminya.
Namun di saat puncak kasih sayangnya kian mendalam, sang suami pula yang menyarankan, agar anaknya, Sulamak, di lepas ke sungai atau laut lepas, berdasarkan pesan Kakeknya.
“Tidak, Daeng. Apa pun yang terjadi, Sulamak tidak bisa di bawa ke mana-mana. Ia masih kecil untuk bisa hidup sendiri,”kata Linda, yang tetap bersikukuh agar anaknya itu tidak di bawa ke laut lepas.
“Tapi itu pesan, Kakek.”
“Iya, itu pesan. Tapi kan kita bisa tidak menerima!”
“Tidak menerima atau menolak pesan Kakek, berarti kita ini cucu yang tidak taat. Kakek itu sangat paham dengan kedua anak kita.”
“Daeng, dengan di lepas laut, apakah kita tidak menyiksa anak kita sendiri?”
“Sudahlah. Urusan hidup dan mati, itu urusan Tuhan. Pasti Tuhan menjaganya.”
Mendengar kesungguhan suaminya, bola mata Linda berkaca-kaca. Ia tak sanggup untuk melepas anaknya itu. Kedua anaknya yang berbeda rupa itu adalah darah dagingnya sendiri, anak yang butuh cinta dan kasih sayang dari seorang ibu.
Pasangan suami -istri ini tersentak saat anaknya, Sulamak, berbicara. “Ibu, ayah, biarkan aku di lepas di laut. Hidupku ada di sana. Tuhan akan menjagaku.”
Linda dan Dg Cora saling memandang. Terkesima. Mereka mendekatkan telinganya ke anaknya itu. “Benarkah, Sulamak yang berbicara?” bisik hati mereka bersamaan.
“Benar, ibu. Benar, ayah. Aku yang bicara. Bawalah aku ke laut. Suatu saat, aku akan datang lagi,”kata Sulamak dengan bahasa yang sangat jelas.
***
Usai salat subuh, pasangan suami-istri itu berjalan menyusuri pantai. Udara yang dingin dan hempasan ombak yang gemuruh, serta dera sunyi yang menghimpit, tidak membuat mereka kehilangan keyakinan. Mereka tetap yakin dan percaya bahwa anaknya, Sulamak, akan merasakan kehidupan yang lebih baik, dan lebih indah di laut lepas.
Dengan berat hati disertai air bening yang menetes di pipi pasangan susmi-istri itu, mereka melepas anak kesayangannya itu. Sulamak dengan indahnya mengayuh tubuhnya di atas ombak yang membawanya ke tengah laut. (*)

Maccini, 15.8.2019.

..

Puisi Muhammad Amir Jaya

MENUJU DETAK-DETIK ABADI
-Kepada BJ Habibie

jam terus berdetak
tapi tepat pukul 18.05
jam di dadamu berhenti berdetak
engkau pamit menuju detak-detik abadi
bersama sang Kekasih yang menjemputmu

baharuddin
walau engkau telah pergi bersama Kekasihmu
tapak kakimu tetap menjejak di ubunku
jejak lelaki paripurna: pendekar demokrasi dan kebebasan pers
engkau pun telah memahat cakrawala
denga burung elang
yang terbang dari waktu ke waktu

detik ini, tak ada yang dirisaukan
namamu mewangi di kedalaman sukmaku
seperti mewanginya di setiap detak anak-anak bangsa
dari aceh hingga papua

dunia pun mengakui dan mencatat jejakmu
engkau lelaki matahari
yang memancarkan cahaya cinta
di setiap nafasmu

selamat jalan baharuddin
Kekasihmu telah mendekapmu dengan mesra

Makassar,12.9.2019.