Dr. Suryaningsih, SPd, MH.*Opini; “Geografi Budaya di Bulan Ramadhan”

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Setiap daerah memiliki tradisi dan budaya unik dalam menyambut dan menjalani bulan suci ini.

Di Kalimantan, geografi budaya di bulan Ramadhan dipengaruhi oleh keragaman etnis, tradisi lokal, serta kondisi geografis yang khas. Dalam perspektif Islam, tradisi Ramadhan yang berkembang harus berlandaskan pada ajaran Al-Qur’an dan Hadis, sehingga memperkaya nilai spiritual dan sosial masyarakat.

Kalimantan sebagai pulau terbesar di Indonesia memiliki karakteristik geografis yang unik, terdiri dari hutan tropis, sungai besar, serta masyarakat yang tersebar di pedalaman dan pesisir. Kondisi ini mempengaruhi cara masyarakat dalam menjalankan ibadah puasa serta kebiasaan sosial mereka selama Ramadhan.

Tradisi berbuka puasa sering diwarnai dengan makanan khas seperti Bingka (kue manis khas Banjar), Amparan Tatak, serta Ikan Pais. Dalam Islam, berbuka puasa dengan makanan yang baik dianjurkan sebagaimana dalam hadis:

“Jika salah seorang di antara kalian berbuka puasa, hendaklah ia berbuka dengan kurma. Jika tidak ada kurma, maka dengan air, karena sesungguhnya air itu suci.” (HR. Abu Dawud).

Beberapa daerah di Kalimantan memiliki masjid terapung yang menjadi pusat ibadah selama Ramadhan, seperti Masjid Terapung Sultan Suriansyah di Kalimantan Selatan. Ini mencerminkan bagaimana kondisi geografis yang berair berpengaruh pada budaya ibadah masyarakat.

Sumber:https://regional.kompas.com/read/2022/04/01/145111478/sejarah-masjid-sultan-suriansyah-di-banjarmasin.

“Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian…” (QS. At-Taubah: 18)
Di beberapa daerah Kalimantan, sahur keliling masih menjadi kebiasaan, di mana masyarakat membangunkan orang lain untuk sahur dengan alat musik tradisional. Tradisi ini sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW dalam menghidupkan sahur:
“Makan sahurlah kalian, karena di dalam sahur terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebagian masyarakat Kalimantan melakukan ziarah ke makam ulama atau leluhur sebelum Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Makna dan filosofi di balik tradisi Ziara kubur adalah ziarah merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur atau tokoh agama yang dihormati. Masyarakat percaya bahwa mengenang jasa para leluhur, terutama yang memiliki peran dalam menyebarkan Islam, adalah bagian dari nilai keislaman dan kearifan local; Tradisi ini juga dilakukan sebagai bentuk bakti kepada orang tua atau leluhur yang telah meninggal dengan mendoakan mereka.

Dalam Islam, mendoakan orang yang telah wafat diyakini sebagai amalan yang bisa memberikan pahala baik bagi yang berdoa maupun bagi almarhum; Ziara menjelang Ramadhan sering dianggap sebagai bentuk pembersihan batin dan persiapan menyambut bulan suci. Masyarakat yang berziarah biasanya juga melakukan muhasabah (introspeksi diri), sehingga mereka lebih siap secara spiritual dalam menjalani ibadah di bulan suci.

Tradisi ziarah juga menjadi momen berkumpulnya keluarga dan masyarakat dalam suasana kekeluargaan. Hal ini mempererat hubungan sosial dan membangun rasa kebersamaan dalam komunitas.

Dengan berziarah, seseorang diingatkan akan kematian sebagai suatu kepastian. Ini bisa menjadi pengingat agar lebih mendekatkan diri kepada Allah, menjalani hidup dengan penuh kebaikan, dan memperbanyak amal ibadah.

Jadi sebenarnya bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga bentuk refleksi diri, penghormatan terhadap sejarah, serta penguatan nilai-nilai sosial dan spiritual dalam masyarakat Kalimantan.
Malam Nuzulul Qur’an juga diperingati dengan berbagai pengajian di masjid dan langgar, sebagai bentuk penghormatan terhadap wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW.

“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia…” (QS. Al-Baqarah: 185).

Setiap budaya yang berkembang dalam masyarakat Islam harus tetap berpegang pada nilai-nilai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Islam menekankan keseimbangan antara tradisi lokal dan syariat, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan…” (QS. Al-Baqarah: 143)
Budaya Ramadhan yang berkembang di Kalimantan, seperti berbuka puasa bersama, shalat tarawih berjamaah, dan peringatan Nuzulul Qur’an, memperkuat ukhuwah Islamiyah dan menjadi bentuk amal saleh yang terus dilestarikan.
Geografi budaya di bulan Ramadhan di Samarinda juga mencerminkan harmoni antara tradisi lokal dan ajaran Islam. Sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda memiliki keberagaman budaya yang tetap selaras dengan nilai-nilai Islam dalam menyambut dan menjalani bulan suci Ramadhan.
Samarinda dikenal dengan sungai Mahakam yang menjadi pusat aktivitas masyarakat. Selama Ramadhan, banyak warga berkumpul di sekitar tepian Mahakam untuk berbuka puasa bersama.

Sumber: https://kaltimkita.com/detailpost/teras-samarinda-untuk-mtq.

Tradisi ini sejalan dengan ajaran Islam yang menganjurkan berbuka bersama dan mempererat ukhuwah Islamiyah.

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikit pun.” (HR. Tirmidzi).

Pasar Ramadhan di Samarinda menjadi pusat ekonomi berbasis tradisi yang tetap dalam koridor Islam. Pemkot Samarinda (Dr. H. Andi Harun) memfasilitasi 130 stan kuliner untuk memberdayakan para UMKM. Berlokasi di halaman GOR Segiri, beragam jajanan berbuka puasa (takjil) makanan khas seperti sayur masak, lauk, sampai kue basah, gorengan, dan jajanan tradisional lainnya.

Konsep wisata pasar Ramadhan ini juga mencerminkan nilai Islam dalam berbagi rezeki dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
Allah berfirman: di dalam QS. Al-Qashash (28:77)
اۖبْتَغِ فِيْمَاۤ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَاۤ أَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Latin:
Wabtagi fī mā ātākallāhuddāral-ākhirata wa lā tansa naṣībaka minad-dunyā, wa aḥsin kamā aḥsanallāhu ilaika wa lā tabghil-fasāda fil-arḍ, innallāha lā yuḥibbul-mufsidīn.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (keuntungan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Islam mengajarkan keseimbangan antara mencari kebahagiaan akhirat dan memenuhi kebutuhan duniawi. Bahkan seorang Muslim dianjurkan untuk beribadah, beramal, dan mencari ridha Allah, namun tetap boleh menikmati rezeki yang halal. Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada sesama, sebagaimana Dia telah memberi kita nikmat. Larangan berbuat kerusakan di bumi mencakup perbuatan zalim, eksploitasi sumber daya secara berlebihan, dan tindakan yang merugikan orang lain.
Relevansi dengan Geografi Budaya di Bulan Ramadhan.

Dalam konteks budaya Samarinda selama bulan Ramadhan, ayat ini mengajarkan keseimbangan antara ibadah dan aktivitas sosial-ekonomi. Masyarakat di Samarinda dan sekitarnya tetap menjalankan ibadah puasa, tarawih, dan tadarus, sambil tetap menggerakkan ekonomi melalui Wisata Pasar Ramadhan, berbagi makanan berbuka puasa, dan mempererat silaturahmi.

Ayat ini juga menjadi pedoman untuk menjaga lingkungan dan tidak melakukan eksploitasi berlebihan terhadap alam, terutama mengingat Kalimantan adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam.
Masjid Raya Darussalam, Masjid Shiratal Mustaqim (masjid tertua di Samarinda), serta berbagai langgar kecil tetap aktif dalam menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat tarawih, tadarus, dan kajian Islam. Ini mencerminkan bagaimana masyarakat menjaga keseimbangan antara budaya setempat dengan ajaran Islam. Dalam QS. At-Taubah (9:18)
اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَۗ فَعَسٰىۤ اُولٰۤىٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ
Latin:
Innamā ya‘muru masājidallāhi man āmana billāhi wal-yaumil-ākhiri wa aqāmaṣ-ṣalāta wa ātaz-zakāta wa lam yakhsyā illallāh, fa‘asā ulā’ika ay yakūnū minal-muhtadīn.
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah mereka yang selalu memakmurkan masjid dengan shalat, dzikir, ilmu, dan ibadah lainnya. Memakmurkan masjid juga berarti menjaganya, membersihkannya, dan menjadikannya pusat kegiatan Islami. Ciri utama orang yang mendapat petunjuk adalah beriman kepada Allah dan hari akhir; mendirikan shalat secara rutin; menunaikan zakat sebagai bentuk kepedulian sosial; dan tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah.
Di Samarinda dan Kalimantan pada umumnya, masjid dan langgar (mushola kecil) menjadi pusat aktivitas selama Ramadhan. Masjid-masjid seperti Masjid Raya Darussalam, Masjid Islamic Center Samarinda, dan Masjid Shiratal Mustaqim selalu ramai dengan jamaah yang menunaikan shalat tarawih, i’tikaf, serta kajian Islam. Tradisi memakmurkan masjid di Kalimantan mencerminkan bahwa masyarakat setempat berpegang pada nilai-nilai Islam, sebagaimana ditegaskan dalam QS. At-Taubah: 18. Selain itu, banyak juga kegiatan berbagi rezeki seperti pembagian takjil dan zakat fitrah, yang mempererat ukhuwah Islamiyah di bulan suci.

Demikian QS. Al-Qashash (28:77)
اۖبْتَغِ فِيْمَاۤ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَاۤ أَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Latin:
Wabtagi fī mā ātākallāhuddāral-ākhirata wa lā tansa naṣībaka minad-dunyā, wa aḥsin kamā aḥsanallāhu ilaika wa lā tabghil-fasāda fil-arḍ, innallāha lā yuḥibbul-mufsidīn.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (keuntungan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” QS. Al-Qashash (28:77).

Islam mengajarkan keseimbangan antara mencari kebahagiaan akhirat dan memenuhi kebutuhan duniawi. Seorang Muslim dianjurkan untuk beribadah, beramal, dan mencari ridha Allah, namun tetap boleh menikmati rezeki yang halal. Allah memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada sesama, sebagaimana Dia telah memberi kita nikmat. Larangan berbuat kerusakan di bumi mencakup perbuatan zalim, eksploitasi sumber daya secara berlebihan, dan tindakan yang merugikan orang lain.
Ayat ini juga mengajarkan keseimbangan antara ibadah dan aktivitas sosial-ekonomi. Masyarakat di Samarinda dan sekitarnya tetap menjalankan ibadah puasa, tarawih, dan tadarus, sambil tetap menggerakkan ekonomi melalui Pasar Ramadhan, berbagi makanan berbuka puasa, dan mempererat silaturahmi.
Beberapa komunitas di Samarinda masih melestarikan tradisi sahur keliling dengan alat musik tradisional seperti bedug dan kentongan. Sementara itu, gema takbir dengan lantunan khas Kalimantan Timur juga menggambarkan akulturasi budaya lokal dalam syiar Islam.

Rasulullah SAW bersabda: “Makan sahurlah kalian, karena di dalam sahur terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kesimpulan
Geografi budaya di bulan Ramadhan di Kalimantan mencerminkan harmoni antara tradisi lokal dan ajaran Islam. Keunikan kuliner, tradisi sahur keliling, masjid terapung, serta semangat syiar Islam dalam berbagai bentuk menjadi bukti bahwa budaya dan agama dapat berjalan seiring selama tetap berada dalam koridor syariat. Dengan memahami perspektif Al-Qur’an dan Hadis, masyarakat Kalimantan dapat terus menjaga nilai-nilai kebaikan dan keberkahan di bulan suci ini.
Harmoni antara tradisi lokal dan ajaran Islam di Samarinda juga terlihat dalam berbagai aspek kehidupan selama Ramadhan. Masyarakat tetap mempertahankan nilai-nilai keislaman dalam setiap kegiatan, mulai dari berbuka puasa bersama, ibadah di masjid, hingga menjaga kebersamaan dalam tradisi yang Islami. Dengan demikian, Ramadhan di Samarinda bukan hanya menjadi momen spiritual, tetapi juga memperkuat identitas budaya dalam bingkai ajaran Islam.

*Dosen Universitas Mulawarman.