*Essai-Frans Kato; “Pendidikan Demokratisasi dan Bumbu Masak”

Praktek demokrasi di negara maju, boleh jadi sangat mengagumkan, warga negaranya laksanakan Pemilihan umum (Pemilu) sudah bisa dikatakan tertib, sehingga pemilu yang jujur dan adil (Jurdil), dapat terwujud dengan baik.

Demokrasi, erat kaitanya dengan pendidikan-masyarakatnya, boleh jadi dengan pendidikan yang tinggi, tidak akan mudah dibodohi oleh politisi ” busuk.”

Pun-termasuk dengan penghasilan warga, tidak tergoda dengan pemberian “politisi busuk”. Walaupun ada, bisa jadi tidak berpengaruh dalam proses demokrasi, begitu kah?

Sebagai warga negara yang sudah maju, pemilu dari kandidat dipastikan punya gagasan atau ide kedepan baik untuk kemaslahatan warga maupun negara atau daerahnya.

“Ide itu tentu mahal, tentu tidak melanggar etika dan konstitusi.”

Oleh karena itu , sumber daya manusia (SDM), bagi suatu negara maju, bukan lagi menjadi perhatian serius, karena sumber daya yang ada, analisa gagasan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional termasuk masyarakatnya.

SDM yang baik, sangat dibutuhkan di negara demokrasi karena merekalah yang nanti yang mampu menilai hal – hal yang benar dan seterusnya.

Perbedaan sikap dan pendapat menjadi nuansa demokrasi yang tetap terpelihara. Dimana pemimpin yang terpilih tiada lagi “ada campur tangan persoalan hukum dalam hasil pemilu.

Itulah praktek demokrasi yang diinginkan oleh negara – negara maju.

Demokrasi di Indonesia boleh dikatakan telah maju, namun data yang ada kadang miris bila melihatnya.

Ambigu setiap warga yang memiliki ” hak politik ” berpeluang jadi pemimpin , sesuai undang – undang yang berlaku. Menggunakan istilah “Pesta Demokrasi”, kadang disalah artikan, benarkah?.

Sebagai contoh Setiap kandidat ‘pameo’ dikalangan rakyat, kandidat pasti punya modal besar yang tidak sedikit untuk memenangkan Pemilu.

Sosialisasi pemenangan bukan lagi tujuan dari visi dan misi alias ide mahal itu, tetapi untuk memenuhi kebutuhan ‘perut’ tetapi kepentingan pribadi dan golongannya. Begitukah?.

Bila ini benar, maka jelas memprihatinkan dalam demokratisasi di Indonesia. Memang harus diakui banyak pengamat dan pakar yang berasumsi bahwa praktek demokrasi di Indonesia masih dalam proses, apalagi SDM di Indonesia khususnya yang dipilih dan memilih tingkat pendidikan masih dipertanyakan, sejalan dengan proses demokrasi itu sendiri.

Praktek demokrasi di Indonesia melalui ajang gelar pemilu, baik tingkat eksekutif legislatif, dalam politisasi masyarakat dan negara, kadang diartikan beraroma kurang sedap tapi mengasyikkan.

Politisasi demokrasi Indonesia kadang Ide yang mahal, dijadikan sebagai pandangan imajiniarnya.

Yaa, hasilnya tidak lagi sesuai dengan kenyataan, sudah bercampur bumbu masak ‘terasi’ agar masyarakat lebih berselera.

Akhirnya, kadang kita lupa Pancasila sebagai dasar negara, khususnya Sila keempat berbunyi: 

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Sila keempat mengandung makna pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Dan atau boleh jadi, tingkat pendidikan masyarakat Indonesia, masih kurang mumpuni??? (*).

*Tinggal di Makassar-Juni 2024.