Kolom LEGASOPHIA

KABINET PRESIDENSIAL 2024-2029

Negara seperti keluarga atau rumah tangga, maka tujuan negara adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, bagi warga negara (Ibnu Sina)

Sudah dapat dipastikan, kabinet periode presidensial 2024-2029 Republik Indonesia (RI), akan dipimpin Probowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka. Keduanya meraih suara mayoritas dalam Pemilihan Umum (pemilu).

Kemenangannya ditetapkan oleh KPU RI pada rapat pleno terbuka, April 2024 lalu. Kabinet, yang mayor diberi semangat zaken itu, merupakan kabinet ke 45 dalam rentang panjang sejarah modern tata negara RI, yang sudah 7 dekade lebih berjalan.

Pergantian kepemimpinan dan/atau keberelanjutan kepemimpinan, adalah keniscayaan dalam praktik demokrasi. Perperiodik secara konstitusional, kabnet baru akan dibentuk ketika seorang warga negara tepilih sebagai presiden. Setiap kabinet adalah gambar besar mengenai sistem pemerintahan yang dianut sebuah negara. Dan itu dapat berupa kabinet presidensial dan kabinet parlemeter.

Dalam sejarah, ada masa sistem tata negara kita menganut parlementer, menganut parlementer quasi presidensial, dan pasca reformasi, konstitusi RI meng-endorse model presidensial ‘murni’.

Dalam model parlementer, konstruksi kabinet banyak ditentukan oleh kekuatan partai yang dominan dalam parlemen. Sementara dalam model presidensial, struktur kabinet menjadi hak mandiri dari presiden terpilih.

Dalam negara modern, pemilu selalu membuka ruang baru dalam proses bertatanegara. Setiap usai pemilu nasional, pembentukan dan pengisisan struktur kabinet menjadi salah satu tugas politk-yuridis seorang kepala pemerintahan. Penyusunan kabinet menjadi momen krusial, dan akan menjadi tonggak penentu kinerja pemerintahan dalam periode yang segera akan berjalan.

Kabinet menjadi representasi kekuasaan kepala pemerintahan, eksekutif. Aktivitas utamanya mewujudkan tujuan negara yang ditetapkan konstitusi. Daulat rakyat yang diperoleh melaui pemilu merupakan dasar legitimasi bagi kabinet eksekutif dalam menggerakkan roda pemerintahan melalui kebijakan. Sehingga kabinet, sebagai badannya pemerintahan negara, gerak lambat dan cepatnya dalam mewujudkan idealitas tujuan negara ke level paling parktis, ditentukan oleh kualitas dan kuantitas dari kabinet yang dibentuk.

Tidak ada model kabinet yang paten dalam pemerintahan modern. Dinamika kehidupan nasional, kebutuhan penyelesaian permasalahan masyarakat, dan realitas politik nasional, dapat sebagai faktor internal yang mempengaruhinya. Kehidupan ekonomi, politik dan keamanan internasional, turut memberi andil besar dalam menyesuain baru pada kabinet yang dirancang. Presiden terpilih, memiliki hak sepenuhnya (istimewa) atas konstruksi dan rekonstruksi kabinet, hak prerogative, baik pada awal, maupu ketika sedalam dalam proses pemerintahannya.

Dalam Comparative Government and Politics (2016), Hague dan Harrop menyitir hal-hal mendasar yang dapat mempengarui membentukan kabinet dalam ragam bentuk pemerintahan, diantaranya adalah kepemimpinan, partai politik dan stabilitas dan koalisi.

Aspek kepemimpinan, dapat menujuk pada (salah satunya) dimensi strategi politik tertentu sebagai dasar penentuan individu-individu yang akan ditugasi sebagai menteri, dalam rangka membangun keseimbangan politik dalam kekuasan eksekutif. Terutama jika presidennya adalah pimpinan partai.

Selain itu, dalam aspek kepempinan juga dapat merujuk pada pemahaman mendasar atas pokok-pokok persoalan berbangsa dan bernegara, dan visi ‘ideologis’ masa depan masyarakat, yang telah terbentuk dalam ‘benak kesadaran’ sang pemimpin.

Aspek ini menjadi vital dalam konteks, pemahaman komprehensif dari kepala pemerintahan, baik berkenaan problematik nasional maupun internasional, sebagai hal mendasar yang harus dijawab melalui kinerja kabinet, sekaligus merupakan tantangan bersama politik nasional. Bahkan kabinet itu, dapat membawa pada kolaborasi yang kuat antar berbagai kepentingan politik dari negara yang multi-partai, dalam suatu kesadaran ‘politik konstitusional’ untuk menghadapai problem bersama tersebut.

Konstitusi RI, mengamanatkan: tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Kepala negara dan/atau kepala pemerinahan, yang dijabat Presiden dengan kabinet bentukannya, memiliki kewajiban konstitusional untuk mewujudkan tujuan negara tersebut.

Bagaimana kabinet zaken Probowo menjawab kebutuhan konstitusional itu dalam kabinetnya? Kerangka yuridis penyusunan kabinet sudah disiapkan oleh negara.

Dan tidak terlalu bersoal mengenai prosedur dan mekanismenya. Konstitusi RI adalah dasar konstitusionalitasnya, dan UU No. UU No. 39/2008 tentang Kementrian Negara yang telah diubag dengan UU No. 61/2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang memungkinkan presiden terpilih secara bebas, mandiri dan istimewa, menyusun kabinetnya.

Yang esensial, bahwa masa pengisian formasi kabinet, inividu yang akan diberi tugas-tugas pemerintahan dalam kepemimpinan kementrian untuk periode presidensial 2024-2029, adalah masa ketika kondisi nasional dan internasional, sedang ‘tidak bai-baik saja’.

Artinya kabinet baru bentukan Prabowo-Gibran, harus mampu menjawab ‘titik ktiris’ dari situasi nasional dan terutama internasional, secara paralel.

Titik ktitis ini adalah tantangan dan peluang dari serangkaian prolem mendasar kehidupan nasional dan, terutama kondisi dunia yang tampaknya seperti ‘api dalam sekam’.

Pengaruh global makin masiv mempengaruhi kehidupan nasional-lokal. Tidak terhindarkan, bahkan semua negara akan terseret-seret dalam pusaran problem global abad mutakhir.

Masihkah, sebuah kabinet pemerinahan modern saat ini, secara universal, mampu mengatasi serangkaian multi-krisis ummat manusia, yang makin hari, makin ‘melemahkan kehidupan’ manusia itu sendiri.

Krisis politik, ekonomi, ekologi, sosial, kesehatan dan hukum, dan lainnya, baik level nasional maupun global, makin mendorong manusia ke dalam rasa ‘pesimistik’ yang sekonyong-konyong, untuk mengandalkan kapasitas manusiawi.

*Syafruddin Muhtamar, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.